Hukum
bersuci dan shalat bagi orang yang sakit
(Bagian Pertama)
(Bagian Pertama)
Allah SWT telah mensyariatkan thaharah (bersuci) pada setiap shalat,
karena sesungguhnya membersihkan hadast dan menghilangkan najis –baik
yang melekat di badan, di baju atau pada tempat shalat- merupakan bagian dari
syarat-syarat (sah) shalat. Jika seorang muslim hendak mengerjakan shalat, maka
wajib baginya (terlebih dahulu) berwudhu
untuk bersuci dari hadast kecil atau mandi jika (ia) berhadast
besar. Dan menjadi keharusan (baginya) sebelum ia berwudhu` untuk istinja`
(cebok) dengan air atau istijmar (membasuh) dengan batu setelah selesai
buang air kecil ataupun besar sehingga sempurnalah kesucian dan kebersihannya.
BERIKUT
PENJELASAN MENGENAI SEBAGIAN HUKUM-HUKUM YANG TERKAIT DENGAN THAHARAH
Al Istinja` (cebok) dengan air wajib bagi yang mengeluarkan sesuatu
dari dua lubang (sabilain), yaitu kencing, dan berak. Dan istinja` tidak
ditujukan bagi orang yang tertidur atau kentut, karena hal yang demikian itu
cukup berwudhu` saja. Istinja` disyariatkan hanya untuk menghilangkan
najis, dan tidak ada najis pada kedua kondisi tersebut di atas.
Kedudukan Al Istijmar seperti kedudukan istinja` didalam
bersuci, sedang perbedaannya hanya pada tatacaranya saja, istinja` dikerjakan
dengan air sedang istijmar dengan batu. Dan istijmar harus (paling
sedikit) dengan tiga buah batu yang suci; sebagaimana yang telah ditetapkan
dari Nabi T,
bahwa beliau bersabda:
(( مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ ))
“Barangsiapa
yang ber-istijmar maka hendaklah (ia mengerjakannya dalam bilangan) ganjil”
Juga
sabdanya:
((إذَا ذَهَبَ أحَدُكُمْ إلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أحْجَارٍ, فَإنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ)) رواه أبو داود.
“Jika salah
seorang diantara kalian pergi buang air besar maka hendaklah ia pergi dengan
tiga buah batu bersamanya, sesungguhnya (yang demikian itu) cukuplah baginya.”(HR.
Abu Daud)
Dan
beliau T
melarang istijmar dengan kurang dari tiga buah batu.(HR. Muslim)
Dan
tidak dibenarkan istijmar dengan kotoran binatang, tulang, makanan dan
setiap yang memiliki kehormatan.
Lebih utama (afdhal) lagi beristijmar dengan batu dan semisalnya,
seperti tissue dll, kemudian sesudahnya disertai dengan air; karena batu hanya
menghilangkan zat najisnya sedang air mensucikan tempat keluarnya najis tersebut,
sehingga menjadi lebih sempurna. Dan kita dapat memilih diantara istinja`
dengan air atau istijmar dengan batu dan semisalnya atau (boleh) juga
dengan memadukan antara keduanya. Dari Anas r.a. berkata:
((كَانَ النَّبِيُّ T يَدْخُُلُ الْخَلاَءَ فَأحْمِلُ أنَا وَغُلاَمٌ نَحْوِيْ إدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً، فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ)) متفق عليه.
“Rasulullah
T
masuk ke kakus, maka aku dan seorang pembantu sebaya denganku membawakan satu
bejana air dan tongkat panjang, lalu beliau ber istinja` dengan air.”
(Muttafaq `alaih)
Dan dari Aisyah r.a. bahwa ia memerintahkan kepada kepada
para jama`ah wanita:
((مُرْنَ أزْوَاجَكُنَّ أنْ يَسْتَطِيْبُوْا بِالْمَاءِ فَإنِّيْ أسْتَحْيِيْهِمْ، وَإنَّ رَسُوْلَ اللهِ T كَانَ يَفْعَلُهُ))
“Perintahkan
suami-suami kalian, hendaklah mereka bersuci (istinja`) dengan air, karena
aku malu (untuk menyampaikannya) kepada mereka, dan sesungguhnya Rasulullah
T
mengerjakannya.” (Menurut at-Tirmidzi: hadits ini shahih)
@
Jika ingin melakukan hanya salah
satu cara bersuci saja dari keduanya maka istinja` dengan air lebih utama
(afdhal); karena ia mensucikan tempat keluar najis, serta menghilangkan
zat najis beserta bekas-bekasnya, dan yang demikian ini lebih bersih. Dan seandainya
kita memilih istijmar dengan batu, maka paling sedikit menggunakan 3
buah batu jika dianggap cukup mensucikan najisnya. Apabila (ia merasa) tidak
cukup membersihkan, tambahlah dengan (batu) yang keempat, yang kelima, sampai
dapat mensucikannya, yang afdhal (lagi) mengakhirinya dalam bilangan
ganjil; karena sabda Nabi T:
“Barangsiapa yang ber-istijmar maka hendaklah (ia mengerjakannya dalam
bilangan) ganjil”. Dan tidak diperkenankan
istijmar dengan tangan kanan; sebagaimana perkataan Salman r.a. didalam
hadits:
((نَهَانَا رَسُوْلُ اللهُ T أنْ يَسْتَنْجِيَ أحَدُنَا بِيَمِيْنِهِ))
“Rasulullah
T
melarang seorang diantara kami ber-istinja` dengan tangan kanan.”
sabda
Nabi T:
((لاَ يَمَسُّكُنَّ أحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ، وَلاَ يَتَمَسَّحُُ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِيْنِهِ))
“Janganlah
salah seorang diantara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika
ia sedang kencing, dan jangan pula membersihkan dengan tangan kanannya ketika
ia buang air besar.”
Seandainya
tangan kirinya buntung, atau patah atau sakit
dll, maka istijmar dan istinja` dengan tangan kanannya
dibolehkan karena darurat, dan baginya diberikan keringan dalam kondisi seperti
ini. Dan memadukan antara istijmar dan istinja` dengan air adalah
yang paling afhdal dan paling sempurna.
@
Syariat Islam berlandaskan atas
dasar keringanan dan kemudahan, maka Allah SWT memberikan keringan dalam ibadah
kepada setiap orang yang memiliki `udzur (halangan) sebanding dengan
kadar `udzur yang dihadapinya, agar ia dapat beribadah kepada Allah SWT
tanpa kesulitan dan kesukaran. Allah SWT berfirman:
((وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيْ الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ)) [الحج : 78]
“Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS.22 :78)
((يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ)) [البقرة : 185]
“Allah
menghendaki bagimu kemudahan dan tidak menghendaki bagimu kesukaran.”
(QS. 2: 185)
((فَاتَّقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)) [التغابن : 16]
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”
(QS. 64: 16)
Dan
Nabi T
bersabda:
((إذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ))
((Jika
aku perintahkan kalian dengan suatu urusan maka kerjakanlah menurut kesanggupanmu)).
((إنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ))
((Sesungguhnya
agama (Islam) itu mudah)).
@
Bagi seorang yang sedang menderita
sakit, jika ia tidak sanggup bersuci dengan air, seperti berwudhu` dari hadast
kecil, atau mandi dari hadats besar disebabkan ketidak sanggupannya atau
karena khawatir bila menggunakan air dapat menambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya, maka diperbolehkan baginya untuk bertayammum, yaitu memukulkan
kedua telapak tangan ke atas tanah yang suci satu kali, lalu mengusapkannya
ke wajah dan kedua tangannya sampai pergelangan. Firman Allah SWT:
((وَإنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوْا وَإنْ كُنْتُمْ مَّرْضَى أوْ عَلَى سَفَرٍ أوْ جَآءَ أحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ أوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْداً طَيِّباً فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأيْدِيْكُمْ مِنْهُ)) [المائدة : 6]
“Dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakann ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
(QS. 5: 6)
Dan orang yang tidak sanggup menggunakan air (dalam bersucinya)
hukumnya seperti hukum orang yang tidak menemukan air.
Firman Allah SWT:
((فَاتَّقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)) [التغابن : 16]
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu” (QS. 64: 16)
Dan sabda Nabi
T kepada `Amar bin Yasir:
((Sesungguhnya
cukuplah bagimu berbuat dengan tanganmu begini, kemudian beliau T pukulkan kedua tangannya ke tanah satu
kali, lalu ia usapkan kedua tangannya ke wajah dan dua tangannya (hingga pergelangan)
)).
Tidak boleh tayammun kecuali dengan tanah yang suci lagi
berdebu, dan tidak sah tayammum kecuali disertai dengan niat, berdasarkan sabda
Nabi T:
((إنَّمَا الأعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإنْمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى))
“Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapatkan (ganjaran)
sesuai dengan apa yang diniatkannya)).
Diterjemahkan oleh: Muh. Khairuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar